google search

Rabu, 09 September 2009

Bhagawadgita


Bhagawadgita (Sanskerta: भगवद् गीता; Bhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Kresna, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna; ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi,kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang di miliki sekaligus secara bersamaan).

Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada "Bhismaparwa". Adegan ini terjadi pada permulaan Baratayuda, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Kresna yang berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu.



* 1 Penulis
* 2 Daftar isi
* 3 Bhagawadgita dalam budaya Jawa Kuna dan Bali
o 3.1 Bhismaparwa
o 3.2 Bharatayuddha
* 4 Lihat pula

Penulis

Penulis Bhagawadgita adalah Sri Krishna Dvipayana Vyasa atau Resi Byasa. Bhagawadgita merupakan ajaran universal yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia, sepanjang masa. Untuk mengetahui rahasia kehidupan sejati di dunia ini sehingga dapat terbebaskan dari kesengsaraan dunia dan akhirat . Umat Hindu meyakini, Bhagawadgita merupakan ilmu pengetahuan abadi, yakni sudah ada sebelum umat manusia menuliskan sejarahnya dan ajarannya tidak akan dapat dimusnahkan.

Daftar isi

Kitab ini terdiri dari 18 bab, yaitu:

* BAB 1 Arjuna Wisada Yoga (Meninjau tentara-tentara di medan perang Kurukshetra). Tentara-tentara kedua belah pihak siap siaga untuk bertempur. Arjuna, seorang ksatria yang perkasa, melihat sanak keluarga, guru-guru, dan kawan-kawannya dalam tentara-tentara kedua belah pihak siap untuk bertempur dan mengorbankan nyawanya. Arjuna tergugah kenestapaan dan rasa kasih sayang, sehingga kekuatannya menjadi lemah, pikirannya bingung, dan dia tidak dapat bertabah hati untuk bertempur.
Arjuna Wisada Yoga
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Arjuna Wisada Yoga adalah sebuah bab dalam kitab Bhagawadgita. Bab ini menceritakan keragu-raguan dalam diri Arjuna, setelah ia menyaksikan saudara, guru, sahabat dan kerabatnya yang siap untuk bertempur di Kurukshetra. Ia menyadari dampak peperangan yang akan terjadi, dan dianggap bertentangan dengan ajaran Dharma. Bab ini juga menggambaran situasi dan kondisi yang berlangsung menjelang perang di Kurukshetra, perang saudara terbesar dalam sejarah umat manusia.

Pertentangan ajaran dharma yang terjadi dalam diri Arjuna, antara lain adalah:

* Ahimsa
* larangan membunuh guru sebagai dosa besar (mahāpataka)
* ajaran Wairagya, sebagai sistem pencapaian tujuan moksa
* kemerosotan moral dan musnahnya tradisi leluhur, sebagai ekses terjadinya peperangan
* kekacauan dalam sistem warnasrama-dharma termasuk persepsi timbulnya kekacauan dalam jatidharma dan dharma

Atas pemikiran bahwa peperangan itu bertentangan dengan dharma, Arjuna mengharapkan bimbingan dari Kresna untuk keluar dari kebingunggan ini.

[sunting] Uraian dalam Bhagawad Gita

Arjuna Dalam Keragu-raguan dan Kehilangan Harapan

* Dretarastra berkata :

Di tanah lapang kebenaran, di tanah lapang dari kerajaan Kuru, sewaktu putra – putraku berkumpul bersama – sama dengan putra – putra Pandu dengan keinginan berperang, apa yang telah diperbuatnya, O Sanjaya?

Ada dua pasukan
Sanjaya (kiri) menceritakan suasana di medan perang Kurukshetra kepada Dretarastra

* Sanjaya berkata :

Jadi setelah Duryodhana menyaksikan tentara daripada Pandawa yang telah teratur dan siap sedia untuk berperang, beliau lalu segera mendekati gurunya yaitu Drona, dan berkata sebagai berikut :

"Saksikanlah, O Guru, kekuatan tentara dari putra – putra Pandu yang telah siap sedia diatur oleh Dhrestadyumna, sisya Paduka yang bijaksana, yaitu putra dari Drupada. Turut serta pula para pahlawan yang keahliannya, kebesarannya dalam hal panah – memanah sama dengan Bhima dan Arjuna di dalam peperangan sebagai Satyaki, Wirata dan Drupada pahlawan kereta yang besar. Dhrishtaketu, Cekitanah dan raja dari Kasi yang wiryawan, gagah perkasa, juga prajurit, Kuntiboja dan Saibya adalah orang – orang yang terkemuka. Yudamanyu, yang kuat dan Uttamauja yang wirawan dan juga putra dari Subadra dan putra – putra dari Drupadi semuanya adalah pahlawan – pahlawan kereta yang besar. Ketahui juga, O Dwijati utama, pemimpin – pemimpin dari tentaraku yang paling terkemuka diantara kita. Aku ingin menyebutkan namanya sekarang untuk diketahui. Paduka sendiri, Bhisma, Karna dan Kripa, yang selalu unggul didalam peperangan, Aswatama, Wikarna dan juga putra dari Somadhata. Dan banyak pahlawan lainnya yang menyerahkan jiwanya untuk kepentinganku. Mereka dipersenjatai dengan bermacam–macam senjata dan semuanya mahir dalam peperangan. Inilah tentara kita yang dibela oleh Bhisma dan tak terbilang jumlahnya, sedangkan tentara mereka yang dibela oleh Bhima adalah terbatas jumlahnya. Oleh karena itu semua hendaknya membantu Bhisma, berdiri teguh pada semua bagian depan dalam kedudukannya masing – masing."


Peniupan Sankhakala
Peniupan Sankhakala oleh Arjuna (kiri) dan Krisna menyatakan kesiapan berperang melawan Adharma

Untuk menggembirakan Duryodhana, maka Bhisma yang kuat dan yang tertua diantara para Kuru lalu berteriak dengan keras bagai singa dan meniup sankhakala. Dan dengan mengikuti Bhisma lalu segera terompet dan tambur dan serompet dari tanduk lembu, berbunyi tiada putus – putusnya, gemuruhlah suaranya. Dan sesudah berada di dalam kereta yang besar, yang ditarik oleh kuda putih, Madhawa dan Pandawa (Krishna dan Arjuna) lalu meniup terompetnya yang terkeramat. Krishna meniup Pancajanya, Arjuna (Dhananjaya), Dewadatta dan Bhima (Wrikodara) yang dengan hati yang keras sankhakala yang luar biasa itu dengan nama Paundra. Semua kejadian ini menyatakan bahwa mereka sudah siap sedia untuk bertempur. Raja Yudhistira, putra dari Kunti, meniup terompetnya yang bernama Anantawijaya dan Nakula dan Sahadewa juga meniup terompetnya dengan nama Soghosa dan Manipushpaka. Dan raja dari Kasi yang ahli dalam panah – memanah, Srikandi prawira yang besar, Dhrestadyumna dan Wirata dan Satyaki yang tak dapat ditaklukkan. O raja – diraja, Drupada dan putra – putra dari Drupadi dan putra dari Subadra yang bersenjatakan kuat dari segala pihak masing–masing meniup sankhakala. Suara yang guruh – gemuruh itu, yang melalui angkasa dan ini merobek – robek hati dari putra – putra Dhrestarastra.


Arjuna meninjau ke medan

O Maharaja, dengan melihat putra – putra Dhrestarastra yang telah teratur pada tempatnya siap sedia untuk berperang dan penembakan akan dimulai, maka Arjuna dengan Dwaja memakai simbol Hanuman (monyet) mengambil panahnya dan lalu berkata kepada Krishna sebagai berikut :

"O Achyuta, tempatkanlah keretaku diantara kedua tentara itu supaya aku dapat melihat mereka yang berdiri di sini dan mempunyai keinginan untuk berperang di medan perang ini, dengan siapa aku harus mengadu jiwa. Karena aku ingin melihat mereka yang berkumpul di sini, siap untuk berperang dan berhajat, benar untuk mencapai kemenangan di dalam peperangan ini demi cinta mereka pada putra Dhrestarastra yang berpikiran jahat itu."

Jadi dengan ucapan Arjuna ini, Krishna lalu menarik kereta yang terbaik ke antara dua pasukan tentara, O Dhrestarastra. Di hadapan Bhisma, Drona dan semua raja – raja lalu berkata :

“ O Arjuna lihatlah para Kuru berkumpul di sini”.

Di sana Arjuna melihat berdiri pada kedua belah pihak, nenek – nenek, mertua – mertua dan paman – paman, kakak – kakak, dan saudara sepupu, kepunyaannya sendiri anak – anak dan cucu – cucu, teman – teman, guru – guru dan juga teman – teman yang lainnya. Jadi setelah melihat semua kaum keluarga berdiri teratur, Arjuna lalu berbicara dengan berduka – cita, diliputi dengan penuh rasa belas kasihan. Ia diliputi oleh rasa maha kasih dan menyatakan ini dalam kesedihan.

Duka cita Arjuna :


“O Krishna, setelah aku melihat kaum keluargaku hadir di sini, ingin berperang anggota badanku tidak berdaya lagi dan mulut menjadi kering dan rambut tak bergerak lagi. Panah Gandiwa tergelincir dari tanganku dan kulit terbakar. Juga aku tak dapat berdiri tegak dan pikiranku goncang. Aku melihat ciri – ciri yang tidak baik. O Krishna, pun juga aku tak melihat adanya suatu kebaikan dengan membunuh orang – orangku di dalam peperangan. Aku tak mengingini kemenangan, kerajaan dan kesukaan. Apakah gunanya kerajaan itu bagi kita, O Krishna dan apakah pula gunanya kesenangan dan hidup ini?. Untuk kepentingan mereka kita mengingini kerajaan, kenikmatan dan kepuasan, kini semua mereka itu pada berdiri di sini di dalam medan perang, mempertaruhkan jiwa dan kekayaannya. Guru – guru, bapak – bapak, putra – putra, dan juga nenek – nenek, laki – laki, paman – paman dan mertua – mertua, cucu – cucu dan ipar – ipar dan keluarga lainnya. O Krishna, aku tak ingin membunuh mereka, meskipun aku tebunuh olehnya. Meskipun untuk kekuasaan di Tri Loka apalagi hanya untuk kekuasaan di bumi ini saja. Kenikmatan apakah yang akan dilimpahkan atas diri kita setelah membunuh putra – putra Dhrestarastra?. Hanya dosalah balasannya atas diri kita jika membunuh penjahat – penjahat ini. Jadi tidaklah patut kita membunuh putra – putra Dhrestarastra yaitu keluarga kita. Sesungguhnya, O Krishna, bagaimanakah kita dapat bergembira dengan jalan membunuh orang – orang kita? Mereka dengan pikiran diliputi oleh perasaan loba dan tamak tidak melihat kesalahan dalam menghancurkan keluarga dan juga tidak tahu berdosalah jika berduhaka terhadap teman. Tapi kita, O Krishna, yang mengetahui bahwa menghancurkan keluarga itu dosa, apakah sebabnya kita tidak mempunyai kebijaksanaan untuk dapat melepaskan diri dari perbuatan durhaka itu. Keluarga yang di dalam keadaan keruntuhan, Dharmanya menemui ajalnya. Jika Dharma menemui ajalnya seluruh keluarga diliputi perasaan Adharma. Dan jika Adharma meliputi suasana, O Krishna maka para wanita dari kaum keluarga menjadi jatuh moralnya dan bila para wanita moralnya jatuh, O Krishna, maka terjadilah kekacauan alam manusia. Kekacauan alamnya ini, adalah sebenarnya alam neraka bagi keluarga dan juga bagi mereka yang menghancurkannya. Karena jiwa dari leluhur mereka tidak ada yang menghaturi sajen. Ini adalah menunjukkan upacara yang dinamakan Sradha didalam agama Hindu. Yang terpenting didalam upacara ini adalah memberikan sumbangan yang berupa buah pikiran yang berguna kepada keluarga dari yang meninggal dan kepada semua mereka yang telah menduduki Pitra Loka, tempat yang buat sementara waktu, segera sesudah meninggal. Upacara ini disertai dengan sajen yang nyata. Orang – orang yang miskin juga diberi makanan disini yang maksudnya agar mereka dapat memperoleh kebahagiaannya. Dari perbuatan yang salah dari mereka yang merusak keluarga dan mengacaukan keadaan alam manusia, maka lenyaplah jati dharma dan kula dharma yang dari zaman dahulu. O Krishna, kita dapat mendengar, bahwa tinggal di dalam neraka adalah tak dapat disingkirkan bagi mereka yang kula dharmanya telah menemui kehancuran. Aduh, sungguh besar dosa yang kita perbuat dengan mengambil keputusan untuk membunuh keluarga sendiri yang didorong oleh perasaan loba untuk kepuasan kerajaan. Adalah sebetulnya jauh lebih baik jika putra – putra dari Dhrestarastra dengan memegang senjata, membunuh aku dalam peperangan, selama aku tinggal diam yang tanpa senjata dan tanpa perlawanan.

Sanjaya berkata :

“Jadi setelah berbicara di medan perang, Arjuna sambil membuang panah dan busurnya lalu terhenyak di atas tempat duduk kereta dengan pikiran yang susah dan sedih”.

* BAB II Ringkasan isi Bhagavad-gita, menguraikan tentang Arjuna menyerahkan diri sebagai murid kepada Sri Kresna, kemudian Kresna memulai pelajaran-Nya kepada Arjuna dengan menjelaskan perbedaan pokok antara badan jasmani yanag bersifat sementara dan sang roh yang bersifat kekal. Kresna menjelaskan proses perpindahan sang roh, sifat pengabdian kepada Yang Mahakuasa tanpa mementingkan diri sendiri dan ciri-ciri orang yang sudah insaf akan dirinya.



* BAB III Karma Yoga, menguraikan mengenai semua orang harus melakukan kegiatan di dunia ini. Tetapi perbuatan dapat mengikat diri seseorang pada dunia ini atau membebaskan dirinya dari dunia. Seseorang dapat dibebaskan dari hukum karma (perbuatan dan reaksi) dan mencapai pengetahuan sejati tentang sang diri dan Yang Mahakuasa dengan cara bertindak untuk memuaskan Tuhan, tanpa mementingkan diri sendiri.


Karma Yoga adalah salah satu macam yoga dalam agama Hindu. Filsafat dan penjelasan mengenai Yoga ini diuraikan pada bab ketiga dalam kitab Bhagawadgita, yaitu bab Karma Yoga. Bab tersebut terdiri dari 43 sloka, berisi kotbah Kresna kepada Arjuna yang menguraikan filsafat Hindu mengenai karma (perbuatan; kewajiban) dan phala (hasil; buah). Bab ini merupakan lanjutan dari bab dua, yaitu Samkhya Yoga.

Karma Yoga dalam Bhagawadgita

Dalam Bhagawadgita diceritakan bahwa Arjuna bingung dengan uraian Kresna sebelumnya (dalam bab kedua, mengenai roh dan kematian). Dalam bab III sloka pertama dan kedua, Arjuna berkata:
“ O Kresna, kalau engkau menganggap kecerdasan lebih baik daripada tindakan untuk membuahkan hasil, mengapa engkau menganjurkan untuk melakukan perang mengerikan ini? Uraianmu masih membuatku bingung. Mohon beritahu aku dengan pasti, jalan yang dapat kutempuh dan paling bermanfaat. ”

Dalam kata pengantar Bhagawadgita, banyak jalan berbeda-beda yang dijelaskan dan dikemukakan dengan cara yang tidak sistematis, padahal uraian yang sistematis diperlukan untuk mencapai pengertian. Maka Arjuna ingin meminta penjelasan yang tidak membingungkan orang awam agar tidak terjadi penafsiran yang keliru.

Menurut Bhagawadgita, "kerja" atau "tindakan" adalah hukum alam. Bekerja dianjurkan dengan rasa tulus dan pengabdian ditujukan kepada Brahman tanpa mengharapkan keuntungan pribadi. Tindakan digerakkan oleh hukum alam dan bukan oleh jiwa. Sifat alam menyebabkan amarah dan nafsu yang menyelubungi jiwa sehingga seseorang terikat dengan pahala kerja. Seseorang dianjurkan agar tidak tertipu oleh sifat alam, bukan berhenti bertindak. Berhenti bertindak berarti melawan hukum alam.

Uraian dalam Bhagawadgita

Arjuna berkata :

Jika engkau menganggap bahwa jalan pengertian lebih mulia dari jalan perbuatan, mengapa Engkau mendesak aku untuk melakukan perbuatan yang biadab ini, O Krishna. Rupa – rupanya dengan ucapan yang kabur Engkau kiranya mengacaukan pengertianku. Ajarkanlah dengan tegas kepadaku satu hal saja, dengan mana aku dapat mencapai kebaikan yang termulia. Hidup adalah kerja tanpa mengikatkan diri pada hasilnya.

Sri Bhagawan bersabda :

O, Arjuna, manusia tanpa noda, di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah aku ajarkan dari zaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka yang mempergunakan pikiran dan yang lain dengan jalan pekerjaan bagi mereka yang aktif. Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya dengan melepaskan diri dari pekerjaan orang akan mencapai kesempurnaannya. Sebab siapapun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata, tanpa melakukan pekerjaan. Tiap – tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya dengan tidak berdaya apa – apa lagi. Dia yang menahan geraknya indria, tetapi sebenarnya dia terus memikirkan tentang obyek – obyek yang diingini, sifat mana disembunyikan, ia dianggap orang – orang yang bersifat palsu. O Arjuna, akan tetapi ia yang menguasai indrianya dengan kekuatan pikirannya dan tanpa mengingatkan indrianya dalam Karma Yoga, ia pulalah yang lebih agung sifatnya. Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya dari pada tidak melakukan apa – apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja. Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya dunia ini juga terikat oleh hukum karma. Oleh karenanya, O Arjuna, lakukan pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan.

Yadnya – melakukan pekerjaan tanpa mengikatkan diri, dengan ikhlas dan untuk Tuhan.

Pada zaman dahulu kala Prajapati menciptakan menusia dengan yadnya dan bersabda : dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. Kamadhuk adalah sapi dari Indra yang dapat memenuhi semua keinginan. Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi. Dipelihara oleh yadnya, para Dewa akan memberi kesenangan yang kau ingini. Ia akan menikmati pemberian – pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri. Orang – orang yang baik yang makan dengan apa yang tersisa dari yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri. Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya lahir dari pekerjaan.

Kita mengenal Panca Yadnya.

1. Dewa yadnya - yadnya pada Tuhan.
2. Rsi yadnya - mengajar dan membaca kitab suci, sebagai yadnya pada Rsi.
3. Pitra yadnya - pemberian kepada leluhur.
4. Manusa yadnya - memberi pertolongan / makanan kepada orang – orang memerlukan bantuan, miskin dsb, serta upacara dari lahir sampai mati.
5. Bhuta yadnya - memelihara dan memberikan makanan pada binatang – binatang.

Ketahuilah asal mulanya “karma” di dalam Weda dan Brahma muncul dari yang abadi. Dari itu Brahma yang meliputi semuanya selalu berpusat di sekeliling yadnya. Ia yang di dunia ini tidak ikut memutar roda (cakra) yadnya yang timbal balik ini adalah jahat dalam alamnya, puas dengan indrianya dan ia, O Arjuna, hidup sia – sia. Cakra mulai digerakkan oleh Prajapati atas dasar Weda dan Yadnya. Akan tetapi ia yang memusatkan pikirannya hanya kepada Atmanya, dan puas pada Atmanya, dan juga hanya bahagia pada Atmanya, bagi ia tidak ada suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu pula di dunia ini, ia tidak mempunyai perhatian sama sekali pada hasil dari perbuatannya, yang ia lakukan dan juga kepada apa yang belum diperbuatnya, pun juga ia tidak tergantung kepada segala makhluk untuk kepentingannya sendiri. Dari itu bekerjalah kamu selalu yang harus dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya yang tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya. Janaka sebagai contoh. Hanya dengan perbuatan, Prabu Janaka dan lain – lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kamu harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk pemeliharaan dunia. (Prabu Janaka - raja dari Mithila, ayah dari Sita). Lokasamgraha berarti pemeliharaan dunia, kesatuan dunia juga kesatuan masyarakat yang terikat satu dengan yang lainnya. Etika agama adalah pengemudi dari laksana sosial dan juga sebagai dasar. Etika agama akan dapat menghindari dunia dari kehancurannya baik spirituil maupun materiil dan sebaliknya meningkatkan kedudukannya sebagai manusia. Tujuan agama adalah memberi kehidupan spirituil pada masyarakat dengan tujuan untk mendirikan rasa persaudaraan di atas dunia ini. Apa saja yang dilakukan oleh orang besar, itu adalah diikuti oleh lain – lainnya. Apa yang ia lakukan, dunia mengikutinya. Rakyat pada umumnya mengikuti suatu contoh bentuk kehidupan orang – orang yang terkemuka. Gita mengatakan bahwa orang – orang bijaksana ini adalah penunjuk jalan pada masyarakat. Sinar cahaya adalah datangnya melalui perseorangan yang lebih maju di dalam masyarakat dan lalu meluas. O Arjuna, tidak ada suatu pekerjaan di ketiga dunia ini untuk Aku, yang harus Kulakukan, juga tidak ada sesuatu yang harus Aku dapati yang belum pernah Aku tidak dapati, walaupun demikian Aku bekerja juga. Sebab jika Aku tidak selalu bekerja dengan tidak mengenal payah orang – orang akan menuruti jalan-Ku dari segala pihak. Jika Aku berhenti bekerja maka ketiga dunia ini akan hancur lebur dan Aku akan menjadi pencipta dari penghidupan yang tak teratur dan Aku akan merusak rakyat ini. Tuhan tidak berhenti – hentinya menjaga dan memelihara dunia ini, menjaga dari keruntuhannya dan kemusnahannya. Sebagai orang yang tidak terpelajar, bodoh, melaksanakan pekerjaan dengan ikatan demikian juga seharusnya orang terpelajar melaksanakannya, O Arjuna, akan tetapi tanpa ikatan dengan keinginan untuk menuntun dunia. Bekerja sebagai yadnya pada Sang Hyang Widhi / Tuhan, adalah menjadi pusat pembicaraan dari Awatara yang turun ke dunia. Turunnya ke dunia tiada lain untuk mengabdikan diri-Nya pada pembebasan manusia dari kesengsaraannya. Lebih bahagia lagi diri-Nya untuk tinggal di sorga dalam bahagia yang abadi. Tetapi turun ke dunia menjadi pilihannya, meskipun dunia ini serba terbatas dan terikat yang membawa kesenangan dan kesedihan dsb-nya. Turun ke dunia adalah untuk ditiru oleh manusia, untuk membuat orang bahagia meskipun Dia sendiri yang melaksanakan kelihatan dengan jalan penderitaan dan kemiskinan. Penyatuan diri dengan Awatara tiada lain hanya dengan kerja menjauhkan diri dari kemalasan dan bekerja dengan keikhlasan untuk kepentingan dunia. Laksana hendaknya dibangkitkan dijiwai oleh sinar dan Ananda (bahagia) dari Yang Maha Esa. Laksana perbuatan orang yang terpelajar, bijaksana, digerakkan oleh sinar dan kebahagiaan dari Tuhan. Orang yang pandai seharusnya jangan menggongcangkan pengertian orang yang bodoh yang terikat pada pekerjaannya. Orang yang bijaksana melakukan semua pekerjaan dalam jiwa Yoga, harus menyebabkan orang lain juga bekerja. Orang yang pandai bijaksana hendaknya jangan melemahkan rasa kebaktian keagamaan dalam bentuk apapun juga. Unsur – unsur kewajiban, pengorbanan dan kecintaan yang menjadi penggerak ke arah kesempurnaan hidup selalu ada pada tiap – tiap kepercayaan. Dengan menghormati ini Hinduisme dalam penyebarannya menunggalkan diri dengan yang telah ada dan memberi dorongan ke arah tingkat kesempurnaan.

Atma bukan Pelaksana

Segala macam pekerjaan adalah dilakukan oleh Guna dari prakriti. Ia yang jiwanya dibangunkan oleh perasaan Ahamkara, keakuan, berpikir aku pelakunya. Prakriti tersusun dari Tiga Guna yaitu Sattve, Rajas dan Tamas. Ketiga ini akhirnya menjadi suasana keadaan alam. Ia yang tidak menyadari keadaan dirinya (atma) yang sebenarnya menunggalkan diri dengan Prakriti. Dan bila Ahamkara, ego, keseluruhannya dikuasai alam maka ia tidak mempunyai lagi alam kebebasan. Ia yang mengetahui dengan sebenarnya tentang Guna dan Karma dan mengetahui bahwa Guna sebagai indria hanya tergantung kepada Guna sebagai obyek, tidak terikat. Kesadaran akan perbedaan diri pada jiwa (atma) dengan sifat dari alam dan karyanya maka ia akan membebaskan diri. Jiwa empiris tiada lain ialah merupakan hasil dari karya kita. Mereka yang dikaburi oleh Guna dari Prakriti akan terikat pada pekerjaan dari Guna. Akan tetapi ia yang sempurna pengetahuannya dan mengetahui semuanya hendaknya jangan membingungkan pengertian dari orang yang bodoh. Jiwa (atma) pada dasarnya adalah suci, bebas abadi dan mempunyai kesadaran sendiri. Menunggalnya dengan Prakriti menimbulkan kelupaan pada keadaan diri yang sebenarnya yang akhirnya menimbulkan ego, Ahamkara, sebagai bagian dari alam. Ini tiada lain adalah karya dari Prakriti. Keadaan inilah lalu manusia pada umumnya berbuat, berlaksana atas dorongan dari alam. Jiwa dalam kelupaan pada keadaan dirinya yang sebenarnya inilah yang harus mendapat tuntunan perlahan – lahan ke arah kesadaran diri dan pembebasan dari ikatan. Ajaran untuk pembebasan diri dari ikatan Prakriti dengan meniadakan gerak sama sekali, Gita tidak mengikuti ini sebaliknya mengajarkan berlaksana, bekerja, menyerahkan diri pada Tuhan, tidak mengikatkan diri pada keuntungannya. Pelaksanaan demikian inilah yang dapat menuntun ke arah kemerdekaan atau pembebasan diri dari ikatan. Serahkanlah segala pekerjaan kepada-Ku dengan memusatkan pikiran kepada Atma, melepaskan diri dari pengharapan dan perasaan keakuan dan berperanglah kamu, bebas dari pikiran yang susah. Mereka itu yang tidak dengan putus – putusnya menuruti ajaran – ajaran-Ku ini dengan penuh kepercayaan dan terlepas dari perasaan – perasaan iri hati, merekapun juga terlepas dari karma (ikatan dari kerja). Mereka yang menyampingkan ajaran – ajaran-Ku ini dan tidak melakukan, ketahuilah mereka akan menjadi buta, kehilangan, dan tak mempunyai rasa pada ilmu pengetahuan. Sebagai orang bijaksana bergerak menurut alamnya sendiri, maka demikian pula makhluk mengikuti alam. Apakah gunanya penahanan hawa nafsu itu? Ikatan dan keengganan dari indria kepada obyek – obyek yang bersangkutan adalah sudah kodratnya (biasa). Barang siapa juga pun, janganlah membiarkan jiwa ditarik oleh kedua pertentangan ini, sebab ini adalah dua musuhnya. Tiap – tiap perbuatan kita hendaknya berdasarkan budi atau pengertian dan jangan sampai dikuasai oleh getaran nafsu yang akhirnya tidak jauh dengan binatang. Adalah lebih baik Dharma sendiri meskipun kurang caranya melaksanakan, dari pada Dharma orang lain walaupun baik cara melaksanakan. Kalaupun sampai mati dalam melakukan Dharma sendiri adalah lebih baik sebab menuruti bukan Dharma sendiri adalah berbahaya. Keinginan kita ialah untuk mencapai kesempurnaan hidup. Kita tidak boleh setengah – setengah dalam kewajiban kita. Haruslah benar- benar di dalam pekerjaan sendiri kewajiban adalah “swa – dharma”. Pada penemuan “swa – dharma” sendiri akan terletak kebahagiaan hidup. Pengabdian yang terbesar yang dapat kita lakukan pada masyarakat, atas penemuan dari swa – dharma, kelahiran bakat sendiri. Tiap – tiap orang harus mengerti bakat kelahirannya. Tidak semua orang mempunyai keistimewaan bakat yang sama. Yang penting ialah bahwa tiap – tiap orang harus sungguh – sungguh dapat mengerjakan tugas yang dipercayakan padanya dengan memuaskan. Tiap – tiap orang harus menjadi patriot di dalam biadangnya masing – masing baik kecil maupun besar. Kebaikan menunjukkan kesempurnaan dari kwalitet. Untuk perkembangan jiwa, kerja adalah penting. Dan kerja sendiri ada selalu di dalam kekuatan kita sendiri. Kerja adalah “puja” yang dapat dipersembahkan oleh manusia pada kekuatan besar yang mengambil bentuk sebagai alam.

Arjuna berkata :

Akan tetapi atas desakan apakah orang berbuat dosa seolah – olah ada kekuatan yang memaksa, meskipun bertentangan dengan kehendaknya. O, Krishna.

Sri Bhagawan berkata :

Kekuatan ini adalah keinginan, adalah kemarahan, yang lahir dari nafsu Rajaguna, inilah yang loba sekali dan berdosa sekali. Ketahuilah bahwa ini adalah musuh di dunia ini. Sebagai api diliputi oleh asap, sebagai kaca oleh abu, sebagai benih diselimuti oleh rahim. Begitulah juga kekuatan diliputi oleh nafsu. Kebijaksanaan kita diselubungi oleh keinginan sebagai api yang tak kunjung padam, ini adalah musuh dari orang yang bijaksana. O, Arjuna. Indria, manas (pikiran) dan budi (intelek) dikatakan adalah tempat musuh ini. Dengan diselubunginya kebijaksanaan oleh hal – hal ini, atma bisa tersulap. Dari itu O, arjuna kekanglah indriamu dari permulaan dan bunuhlah penghacur kebijaksanaan dan pengalaman, penghancur yang penuh dosa. Indria katanya adalah besar, tetapi lebih besar lagi adalah manas (pikiran), lebih besar dari manas adalah budi (intelek), lebih besar dari budi adalah Dia (Atma).

Sloka ini menunjukan “kesadaran” yang dicapai tingkat demi tingkat, dan makin meninggi tingkatan yang dicapai maka kebebasan juga meningkat sampai yang tertinggi yaitu dimana budi menentukan laksana kita disinari oleh Atma yang suci.

Dengan setelah mengetahui Atma itu adalah budi dan dengan mengekang atma dengan Atma maka hancurkanlah musuh yang tak dapat dikuasai itu yaitu keinginan, O, Arjuna. Mengekang atma dengan Atma – dengan atma disini ialah ego sendiri, dan Atma ialah suci yang abadi. Bila kesadaran itu sudah dicapai maka semua laksana akan dituntun hanya oleh sinar jiwa suci, untuk kebahagiaan dunia.

* BAB IV Jnana Yoga, menguraikan pencapaian yoga melalui pengetahuan rohani-pengetahuan rohani tentang sang roh, Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara sang roh dan Tuhan-menyucikan dan membebaskan diri manusia. Pengetahuan seperti itu adalah hasil perbuatan bhakti tanpa mementingkan diri disebut karma yoga. Krishna menjelaskan sejarah Bhagavad-gita sejak zaman purbakala, tujuan dan makna Beliau sewaktu-waktu menurun ke dunia ini, serta pentingnya mendekati seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya.

Jnana Yoga
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Jnana Yoga adalah salah satu macam yoga dalam ajaran agama Hindu. Dalam bahasa Sanskerta, Jnana berarti "pengetahuan". Filsafat Jnana Yoga ini dijelaskan pada bab keempat dalam kitab Bhagawadgita, yaitu bab Jnana Yoga. Bab Jnana Yoga terdiri dari 42 sloka. Hal-hal yang dijelaskan dalam bab Jnana Yoga tersebut adalah karma, bhakti dan ilmu pengetahuan. Turunnya ajaran Bhagawadgita untuk yang pertama kalinya, dijelaskan juga dalam bab Jnana Yoga. Bab ini disebut juga Pengetahuan Rohani dalam kitab Bhagawadgita.

Daftar isi


* 1 Jnana Yoga dalam Bhagawadgita
o 1.1 Turunnya Bhagawadgita
o 1.2 Ajaran tentang Karma dan Bhakti
* 2 Pranala luar

Jnana Yoga dalam Bhagawadgita

Turunnya Bhagawadgita

Menurut Bhagawadgita itu sendiri, ajaran dalam kitab suci Bhagawadgita diwahyukan untuk yang pertama kalinya oleh Kresna kepada Wiwaswan, Dewa matahari. Kemudian Wiwaswan menurunkan Bhagawadgita kepada Manu, leluhur umat manusia. Manu menurunkan Bhagawadgita kepada Ikswaku, dan Ikswaku meneruskan ajaran yoga dalam Bhagawadgita kepada keturunannya.

Secara kelahiran, Wiwaswan, Manu dan Ikswaku lebih dahulu lahir daripada Kresna, dan mereka semua adalah leluhur manusia, sehingga terasa janggal bila Bhagawadgita diajarkan dahulu kala oleh Kresna kepada Wiwaswan, Manu dan Ikswaku. Dalam Bhagawadgita dijelaskan bahwa Kresna adalah penjelmaan Tuhan yang sudah berulangkali turun ke dunia. Jadi, Kresna pernah menurunkan ajaran Bhagawadgita pada kehidupannya yang dahulu. Kresna dapat mengingat semua kehidupannya yang terdahulu, namun Arjuna tidak dapat mengingatnya, meskipun mereka telah dilahirkan berulang kali.

Ajaran tentang Karma dan Bhakti

Mengenai ajaran bhakti, Kresna menyatakan bahwa Tuhan pasti akan menyambut umat-Nya selama mereka berusaha mencari Tuhan dengan jalan apapun. Menurut Bhagawadgita, tidak ada filsafat, dogma, agama dan cara sembahyang tertentu untuk mencapai Tuhan, melainkan ada berbagai jalan untuk mencapai Tuhan. Jadi menurutnya, Tuhan menerima semua jalan yang ditempuh oleh umatnya, selama jalan tersebut mengajarkan kebaikan agar menuju kepada-Nya. Ajaran ini mencerminkan sikap toleransi antar umat beragama yang tinggi.

Bhagawadgita juga menganjurkan agar seseorang yang mempercayai para dewa tidak menganggap para dewa sejajar dengan Tuhan, sebab anugerah yang diberikan oleh para dewa bersifat material dan sementara. Jadi menurut ajaran Bhagawadgita, Tuhan adalah pemberi anugerah yang sebenarnya.

Mengenai ajaran karma, Bhagawadgita menganjurkan seseorang untuk bekerja dengan tidak memikirkan pahala, sebab bila seseorang memikirkan pahala yang diperolehnya jika bekerja, maka ia akan terikat dengan hasil kerjanya. Seseorang yang telah membebaskan jiwanya dari belenggu hanya bekerja secara jasmaniah. Dalam keadaan seperti ini, seseorang telah lepas dari hawa nafsu dan keinginan-keinginan pribadi.

* BAB V Karma Yoga, Perbuatan dalam kesadaran Krishna, orang yang bijaksana yang sudah disucikan oelha api pengetahuan rohani, secara lahiriah melakukan segala kegiatan tetapi melapaskan ikatan terhadap hasil perbuatan dalam hatinya. Dengan cara demikian, orang bijaksana dapat mencapai kedamaian, ketidakterikatan, kesabaran, pengelihatan rohani dan kebahagiaan.


* BAB VI Dhyana Yoga, menguraikan tentang astanga yoga, sejenis latian meditasi lahiriah, mengendalikan pikiran dan indria-indria dan memusatkan perhatian kepada Paramatma (Roh Yang Utama, bentuk Tuhan yang bersemayam di dalam hati). Puncak latihan ini adalah samadhi. samadhi artinya sadar sepenuhnya terhadap Yang Maha Kuasa.


Dhyana Yoga
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Dhyana Yoga adalah bab keenam dalam kitab Bhagawadgita yang menguraikan filsafat Hindu menengani dhyana. Bab ini terdiri dari 47 sloka. Bab ini berisi khotbah Kresna kepada Arjuna mengenai pembebasan diri dari ikatan duniawi. Dalam bab dijelaskan cara-cara menjadi seorang yogi dan sebab-sebab seseorang terikat dengan kehidupan duniawi.

Inti ajaran

Menurut Bhagawadgita, makhluk hidup yang terperangkap oleh tenaga material akan terikat dengan hal-hal duniawi. Apabila seseorang memiliki pengetahuan yang lengkap, ia akan melepaskan diri dari segala kegiatan yang dapat memuaskan indera-indera material. Orang yang dapat melepaskan diri dari kegiatan yang mampu memuaskan indera-inderanya disebut yogi. Seseorang yang ingin menjadi yogi harus mampu mengekang indera-inderanya dari pengaruh duniawi. Jika ia tidak bisa mengekang keinginan untuk memuaskan indera-inderanya, maka ia belum mampu menjadi seorang yogi.


* BAB VII Pengetahuan tentang Yang Mutlak, Sri Krishna adalah Kebenaran Yang Paling Utama, Penyebab yang paling utama dan kekuatan yang memelihara segala sesuatu, baik yang material maupun rohani. Roh-roh yang sudah maju menyerahkan diri kepada Krishna dalam pengabdian suci bhakti, sedangkan roh yang tidak saleh mengalihkan obyek-obyek sembahyang kepada yang lain.

* BAB VIII Cara Mencapai Kepada Yang Mahakuasa, Seseorang dapat mencapai tempat tinggal Krishna Yang Paling Utama, di luar dunia material, dengan cara ingat kepada Sri Krishna dalam bhakti semasa hidupnya, khususnya pada saat meninggal.

* BAB IX Raja Widya Rajaguhya Yoga (Pengetahuan Yang Paling Rahasia), hakikat Ketuhanan sebagai raja dari segala ilmu pengetahuan (widya), Krishna adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tujuan tertinggi kegiatan sembahyang, sang roh mempunyai hubungan yang kekal dengan Krishna melalui pengabdian suci bhakti yang bersifat rohani. Dengan menghidupkan kembali bhakti yang murni, seseorang dapat kembali kepada Krishna di alam rohani.

* BAB X Wibhuti Yoga, Kehebatan Tuhan Yang Mutlak, menguraikan mengenai sifat hakikat Tuhan yang absolut/mutlak. Segala fenomena ajaib yang memperlihatkan kekuatan, keindahan, sifat agung atau mulia, baik di dunia material maupun di dunia rohani, tidak lain daripada perwujudan sebagian tenaga-tenaga dan kehebatan rohani Krishna. Sebagai sebab utama segala sebab serta sandaran dan hakekat segala sesuatu. Krishna,Tuhan Yang Maha Esa adalah tujuan sembahyang tertinggi bagi para mahluk.

* BAB XI Wiswarupa Darsana Yoga, Bentuk Semesta, menguraikan tentang Sri Krishna menganugrahkan pengelihatan rohani kepada Arjuna. Ia memperlihatkan bentuk-Nya yang tidak terhingga dan mengagumkan sebagian alam semesta. Dengan cara demikian, Krishna membuktikan secara meyakinkan identitas-Nya sebagai Yang Mahakuasa. Krishna menjelaskan bahwa bentuk-Nya Sendiri serba tampan dan dekat dengan bentuk manusia adalah bentuk asli Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang dapat melihat bentuk ini hanya dengan bhakti yang murni

* BAB XII Bhakti Yoga, Pengabdian Suci Bhakti, menguraikan tentang cara yoga dengan bhakti, bhakti-yoga, pengabdia suci yang murni kebada Sri Krishna, adalah cara tertinggi dan paling manjur untuk mencapai cinta bhakti yang murni kepada Krishna, tujuan tertinggi kehidupan rohani. Orang yang menempuh jalan tertinggi ini dapat mengembangkan sifat-sifat suci.

* BAB XIII Ksetra Ksetradnya Yoga, Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan Kesadaran, menguraikan hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hubungan dengan purusa dan prakrti, ORang yang mengerti perbedaan antara badan, dengan sang roh dan Roh Yang Utama yang melampaui badan dan roh, akan mencapai pembebasan dari dunia material.

* BAB XIV Guna Traya Wibhaga Yoga, Tiga Sifat Alam Material, membahas Triguna (tiga sifat alam material) - Sattvam, Rajas dan Tamas, semua roh terkurung dalam badan di bawah pengendalian tiga sifat alam material; kebaikan (sattvam), nafsu (rajas) dan kebodohan (tamas). Sri Krishna menjelaskan arit sifat-sifat tersebut dalam bab ini, bagaimana sifat-sifat tersebut mempengaruhi diri kita, bagaimana cara melampaui sifat-sifat tersebut serta ciri-ciri orang yang sudah mencapai keadaan rohani (orang yang sudah lepas dari tiga sifat alam).

* BAB XV Purusottama Yoga, menguraikan beryoga pada purusa yang Maha Tinggi, Hakikat Ketuhanan, Tujuan utama pengetahuan veda adalah melepaskan diri dari ikatan terhadap dunia material dan mengerti Krishna sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang mengerti identitas Krishna yang paling utama menyerahkan diri kepada Krishna dan menekuni pengbdian suci kepada Krishna.

* BAB XVI Daiwasura Sampad Wibhaga Yoga, membahas mengenai hakikat tingkah-laku manusia, sifat rohani dan sifat jahat. Orang yang memiliki sifat-sifat jahat dan hidup sesuka hatinya, tanpa mengikuti aturan Kitab Suci, dilahirkan dalam keadaan yang lebih rendah dan diikat lebih lanjut secara material, tetapi orang yang memiliki sifat-sifat suci dan hidup secara teratur dengan mematuhi kekuasaan Kitab Suci, berangsur-angsur mencapai kesempurnaan rohani.

* BAB XVII Sraddha Traya Wibhaga Yoga, menguraikan mengenai golongan-golongan keyakinan. Ada tiga jenis keyakinan, yang masing-masing berkembang dari salah satu di antara tiga sifat alam. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang keyakinannya bersifat nafsu dan kebodohan hanya membuahkan hasil material yang sifatnya sementara, sedangkan perbuatan yang dilakukan dalam sifat kebaikan, menurut Kitab Suci, menyucikan hati dan membawa seseorang sampai pada tingkat keyakinan murni terhadap Sri Krishna dan bhakti kepada Krishna.

* BAB XVIII Moksa Samnyasa Yoga, Kesempurnaan pelepasan ikatan, merupakan kesimpulan dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan agama yang tertinggi. Dalam bab ini Krishna menjelaskan arti dari pelepasan ikatan dan efek dari sifat-sifat alam terhadap kesadaran dan kegiatan manusia. Krishna menjelaskan keinsafan Brahman, kemuliaan Bhagawadgita, dan kesimpulan Bhagavad-gita; jalan kerohaniantertinggi berarti menyerahkan diri sepenuhnya tanpa syarat dalam cinta-bhakti kepada Sri Krishna. Jalan ini membebaskan seseorang dari segala dosa, membawa dirinya sampai pembebasan sepenuhnya dari kebodohan dan memungkinkan ia kembali ke tempat tinggal rohani Sri Krishna yang kekal.

Tidak ada komentar: