google search

Sabtu, 12 Maret 2011

Apa itu Stigmata?

oleh: Romo William P. Saunders *



Stigmata adalah tanda luka-luka Yesus yang tersalib, yang muncul secara tiba-tiba pada tubuh seseorang. Termasuk dalam tanda sengsara ini adalah luka-luka paku di kaki dan tangan, luka tombak di lambung, luka di kepala akibat mahkota duri, dan luka bilur-bilur penderaan di sekujur tubuh, teristimewa di punggung. Seorang stigmatis, yaitu orang yang menderita akibat stigmata, dapat memiliki satu, atau beberapa, atau bahkan semua tanda sengsara itu. Stigmata dapat kelihatan, dapat pula tidak kelihatan; dapat permanen, dapat pula sementara waktu saja.
Sebagian orang yang tidak percaya, akan menghubungkan tanda luka-luka yang demikian, yang muncul atas diri seseorang, dengan suatu penyakit atau bahkan dengan suatu kondisi psikologis tanpa memikirkan gagasan adikodrati. Tentu saja, Gereja juga pertama-tama berusaha memastikan bahwa luka-luka tersebut bukan berasal dari sebab-sebab alamiah, dan mencari bukti adikodrati guna membuktikan bahwa stigmata tersebut sungguh merupakan suatu tanda dari Tuhan. Gereja juga hendak memastikan bahwa stigmata tersebut bukanlah suatu tanda dari setan guna membangkitkan suatu kegemparan rohani yang menyesatkan orang banyak. Oleh sebab itu, karena stigmata merupakan suatu tanda persatuan dengan Tuhan kita yang tersalib, seorang yang benar-benar stigmatis haruslah hidup dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan dengan gagah berani, tabah dalam menanggung penderitaan baik fisik maupun jiwa, dan hampir senantiasa mencapai tingkat persatuan ekstasis dengan-Nya dalam doa.

Tanda luka-luka dari stigmata yang benar itu sendiri juga berbeda dari luka-luka yang timbul akibat penyakit: Stigmata yang benar, sesuai dengan luka-luka Tuhan kita, sedangkan luka-luka yang timbul akibat penyakit akan muncul secara acak pada tubuh. Stigmata yang benar, mencucurkan darah teristimewa pada hari-hari di mana dikenangkan Sengsara Yesus (misalnya pada hari Jumat dan Jumat Agung), sementara luka-luka yang timbul akibat penyakit tidak demikian. Stigmata yang benar, memancarkan darah yang bersih serta murni, sedangkan yang timbul akibat penyakit memancarkan darah yang disertai nanah. Darah yang memancar dari stigmata yang benar, sekali waktu dapat terpancar dalam jumlah besar tanpa mencelakakan sang stigmatis, sedangkan yang berasal dari penyakit akan melemahkan orang secara serius hingga diperlukan transfusi darah. Stigmata yang benar, tak dapat disembuhkan baik melalui medis ataupun perawatan lainnya, sedangkan yang timbul akibat penyakit dapat disembuhkan. Yang terakhir, stigmata yang benar, muncul secara tiba-tiba, sedangkan yang timbul akibat penyakit muncul perlahan-lahan seturut periode waktu dan dapat dihubungkan dengan penyebab psikologis dan fisik yang utama.

Para stigmatis yang benar, mengalami keterkejutan atas munculnya stigmata. Tanda ini bukanlah sesuatu yang mereka “mohon dalam doa”. Terlebih lagi, dalam kerendahan hati, seringkali mereka berusaha menyembunyikannya agar tak menarik perhatian orang terhadap dirinya.

Stigmatis pertama “yang dinyatakan sah” adalah St Fransiskus dari Assisi (1181 - 1226). Pada bulan Agustus tahun 1224, ia dan beberapa biarawan Fransiskan lainnya mengadakan perjalanan ke Mount Alvernia di Umbria, dekat Assisi, untuk berdoa. Di sana, St Fransiskus memohon untuk diperkenankan ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus. Pada Pesta Salib Suci, 14 September 1224, St Fransiskus mendapat penglihatan: ia dipeluk oleh Yesus yang tersalib. Sengsara dari Jumat Agung yang pertama tercurah atas dirinya, dan ia menerima stigmata. St Fransiskus berusaha menyembunyikan tanda karunia ilahi ini dari yang lainnya, dengan membalut kedua tangannya dengan jubahnya dan mengenakan sepatu serta kaus kaki (yang tidak biasa ia lakukan). Lama-kelamaan, rekan-rekan biarawan memperhatikan perubahan dalam cara berpakaian St Fransiskus dan juga sengsara fisiknya, maka terungkaplah rahasia stigmatanya. Pada akhirnya, atas nasehat para rekan biarawan, St Fransiskus mulai membiarkan stigmatanya terlihat orang lain. St Fransiskus mengatakan, “Tak suatupun yang memberiku penghiburan begitu besar selain dari merenungkan hidup dan sengsara Tuhan kita. Andai aku hidup hingga akhir jaman, aku tak akan membutuhkan buku lain.” Sudah tentu, kasih St Fransiskus kepada Tuhan kita yang tersalib, yang diungkapkannya melalui perhatiannya kepada mereka yang malang dan menderita, mendatangkan karunia stigmata baginya.

St Katarina dari Sienna (1347-1380), yang dianugerahi pengalaman-pengalaman mistik dan penglihatan-penglihatan sejak ia masih berusia enam tahun, juga dianugerahi stigmata. Pada bulan Februari 1375, ketika mengunjungi Pisa, ia ikut ambil bagian dalam Misa di Gereja St Kristina. Setelah menyambut Komuni Kudus, ia tenggelam dalam meditasi mendalam, sementara matanya menatap lekat pada salib. Sekonyong-konyong, dari salib datanglah lima berkas sinar berwarna merah darah yang menembusi kedua tangan, kaki dan lambungnya, mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa hebat hingga ia jatuh tak sadarkan diri. St Katarina dari Sienna menerima stigmata, yang hanya tampak olehnya saja, hingga sesudah akhir hayatnya.

Mungkin stigmatis yang paling termasyhur adalah St Padre Pio. Ia dilahirkan pada tahun 1887, dianugerahi penglihatan-penglihatan sejak umurnya masih lima tahun, dan sejak usia dini telah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi Tuhan. Padre Pio masuk biara Kapusin Fransiskan pada tahun 1903 dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1910. Katanya, “Aku terbakar habis oleh kasih kepada Tuhan dan oleh kasih kepada sesamaku.”

Pada tanggal 5 Agustus 1918, Padre Pio mendapat penglihatan di mana ia merasa dirinya ditikam dengan sebilah tombak; sesudahnya luka akibat tikaman tombak itu tinggal pada tubuhnya. Kemudian, pada tanggal 20 September 1918, saat ia memanjatkan syukur sesudah perayaan Misa, ia juga menerima luka-luka Tuhan kita di kedua kaki dan tangannya. Setiap hari, Padre Pio kehilangan sekitar satu cangkir darah; luka-luka itu tidak pernah menutup ataupun bertambah parah. Pula, bukannya bau darah, melainkan bau harum yang semerbak terpancar dari luka-lukanya.

Sepanjang hidupnya, Padre Pio memahami benar kedahsyatan sengsara Juruselamat kita akibat tangan-tangan mereka yang berada di dalam maupun di luar Gereja, juga akibat setan. Walau demikian, Padre Pio mengatakan, “Aku ini hanyalah suatu alat dalam tangan Tuhan. Aku berguna hanya jika dikendalikan oleh Penggerak Ilahi.” Stigmata tinggal dalam tubuh Padre Pio hingga akhir hayatnya. Paus Paulus VI berkata tentangnya, “Lihat, betapa masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul sekelilingnya! Tetapi mengapa? Apakah mungkin karena ia seorang filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap dalam pelayanan? Karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari fajar hingga gelap dan - tak mudah mengatakannya - ia adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan kita.”

Tak banyak dari antara para kudus yang dianugerahi stigmata; dan mereka yang dianugerahinya, seperti St Fransiskus, St Katarina dan St Padre Pio, memahami secara mendalam sengsara Tuhan kita. Sementara stigmata mungkin membangkitkan rasa takjub kita, tanda itu sendiri dan mereka yang menderitanya hendaknya menjadi inspirasi bagi kita dalam mengejar persatuan yang lebih mesra dengan Tuhan kita, teristimewa dengan sering menerima Sakramen Tobat dan menyambut Ekaristi Kudus.

Minggu, 06 Maret 2011

Kehancuran Sodom dan Gomora


Dinding selatan reruntuhan kota Sodom (Bab edh-Dhra) di sebelah tenggara Laut Mati di Yordania modern.





Reruntuhan Sodom dan Gomora telah ditemukan di sebelah tenggara Laut Mati. Nama modernnya adalah Bab edh-Dhra, diperkirakan sebagai Sodom, dan Numeira, diperkirakan sebagai Gomora. Kedua tempat tersebut dihancurkan pada saat yang bersamaan oleh kebakaran yang luar biasa dahsyat. Debu-debu reruntuhan tebalnya sekitar tiga kaki. Apa yang menyebabkan kekacauan yang mengerikan ini? Penemuan yang mengejutkan di kuburan di Bab edh-Dhra menyingkap penyebab tersebut. Para ahli arkeologi menemukan bahwa bangunan yang digunakan untuk mengubur terbakar mulai dari atap.

Apa yang menyebabkan setiap struktur di kuburan hancur dengan cara seperti ini? Jawaban misteri ini terdapat dalam Kitab Suci. “Kemudian Tuhan menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari Tuhan, dari langit” (Kejadian 19:24). Satu-satunya penjelasan yang mungkin atas penemuan yang unik dalam publikasi arkeologi adalah bahwa debu-debu yang terbakar turun ke bangunan-bangunan dari udara. Tetapi bagaimana hal tersebut dapat terjadi?

Ada cukup bukti mengenai lapisan di bawah tanah berupa bahan berbasis minyak yang disebut bitumen, serupa dengan aspal, di daerah selatan Laut Mati. Materi seperti itu biasanya mengandung belerang dengan prosentase tinggi. Telah dipostulasikan oleh ahli geologi Frederick Clapp bahwa tekanan dari sebuah gempa bumi dapat menyebabkan endapan bitumen dipaksa keluar melalui garis patahan. Ketika tersembur keluar dari bumi, endapan tersebut dapat terpicu oleh bunga api atau kebakaran. Semburan itu kemudian akan jatuh ke bumi sebagai materi yang terbakar.

Sodom dan Gomora diketemukan setelah Clapp memformulasikan teori ini. Ternyata situsnya terletak tepat di atas garis patahan sepanjang sisi timur dataran di sebelah selatan Laut Mati, sehingga teori Clapp sepenuhnya masuk di akal. Terdapat bukti mengenai skenario ini dalam Kitab Suci. Abraham menyaksikan kehancuran ini dari tempat yang menguntungkan di sebelah barat Laut Mati. Kitab Suci mencatat apa yang disaksikan Abraham: “Dia memandang ke arah Sodom dan Gomora serta ke seluruh tanah Lembah Yordan, maka dilihatnyalah asap dari bumi membubung ke atas sebagai asap dari dapur peleburan” (Kejadian 19:28). Asap yang dilihat mungkin adalah asap dari kebakaran basis-minyak. Asap yang membubung ke atas seperti asap dari dapur peleburan menyatakan adanya aliran udara yang dipaksakan, seperti yang dapat diperkirakan dari endapan bawah tanah yang dipaksa keluar dari bumi oleh tekanan.

Kehancuran Sodom dan Gomora menjadi salah satu contoh dalam Kitab Suci mengenai bagaimana Tuhan menghakimi dosa. “Lihat, inilah kesalahan Sodom, kakakmu yang termuda itu: kecongkakan, makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin. Mereka menjadi tinggi hati dan melakukan kekejian di hadapan-Ku; maka Aku menjauhkan mereka sesudah Aku melihat itu” (Yehezkiel 16:49-50).

Kamis, 03 Maret 2011

Ketika Kita Gagal


Roma 2:4b
Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?

Bacaan Alkitab setahun: Mazmur 63; Markus 7; Bilangan 9-10
Rata Penuh
Dua adegan ini berlangsung pararel. Yang satu di atas gunung, yang lain di dalam lembah. Di atas gunung, Musa menerima hukum Taurat. Tuhan memberikan berbagai petunjuk kepadanya, termasuk penetapan Harun sebagai imam besar. Di dalam lembah, Harun memimpin bangsa Israel selama Musa naik ke gunung. Apa yang dia lakukan? Membuat patung lembu emas.

Peristiwa ini menggarisbawahi satu hal: Betapa lapangnya hati Allah! Ia Allah yang Mahatahu. Ia melihat apa yang dilakukan Harun di bawah sana. Namun, Ia tetap memberikan petunjuk kepada Musa mengenai peran Harun sebagai imam. Dan nantinya, Ia tidak membatalkan karunia dan panggilan-Nya atas Harun.

Pernahkan Anda membuat "patung lembu emas"? Dalam taraf yang berbeda-beda, kita semua pernah membangkang terhadap Tuhan - melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan. Hal ini tak jarang membuat kita merasa tidak layak "dipakai" oleh Tuhan. Berkubang dalam lumpur rasa bersalah, Anda merasa menghadapi jalan buntu. Bila keadaan semacam ini membelit Anda, renungkanlah sikap Allah terhadap Harun. Apa pun kesalahan atau kegagalan Anda, selalu ada kesempatan baru bagi Anda. Kemurahan Allah jauh lebih besar daripada pelanggaran kita. Kuncinya, kita perlu menyadari bahwa kemurahan Allah bukanlah pintu belakang untuk menyelinap dan berkompromi dengan dosa, melainkan sebuah jalan menuju pertobatan. Maukan Anda menempuhnya?

Jika Anda mau belajar dari kegagalan, Anda belum benar-benar gagal.